KRISIS MINYAK DIKOTA MINYAK
“Antrian panjang nih di setiap SPBU” begitu bunyi timeline
dari tweeps Kota Balikpapan. Antrian di Stasiun Pengisian Bahan Bakaru
Umum (SPBU) sebenarnya biasa terjadi di berbagai kota di Kalimantan
Timur, yang merupakan salah satu provinsi penghasil minyak bumi dan gas
alam di Indonesia. Kondisi ini menjadi berbeda, ketika kejadian antrian
di SPBU ada di Kota Balikpapan.
Kota Balikpapan yang berjulukan Kota Minyak itu, kelahirannya
disepakati pada saat pengeboran pertama minyak di Balikpapan yang
dilakukan oleh perusahaan Mathilda, tanggal 10 Februari 1897. Selama ini
kota Balikpapan dikenal sebagai wadah pertemuan hasil minyak bumi yang
disedot dari kerak bumi, terus dialirkan dan didistribusikan ke berbagai
unit pengolahan lainnya. Balikpapan juga menjadi titik distribusi bahan
bakar minyak, utamanya bagi wilayah Kalimantan.
Langkanya BBM
Balikpapan bisa jadi baru pertama kali merasakan krisis stok bahan
bakar minyak (BBM), karena sebelumnya kebutuhan kota ini selalu
terpenuhi. Di saat pemerintah mulai mewacanakan kenaikan harga BBM, maka
mulailah terjadi penyimpanan minyak oleh berbagai kalangan, baik warga,
maupun pedagang. Penimbunan terjadi, dan cadangan di SPBU semakin
menipis.
Di era 2.0 ini, informasi sekecil apapun akan cepat mengalir.
Kenaikan harga BBM, ditambah dengan menipisnya stok, menjadikan pengguna
BBM menjadi panik. Tombol panik pun tertekan. Sebagian besar pengguna
BBM bergegas untuk mencukupkan kebutuhannya akan bahan bakar.
Kekhawatiran tidak memperolehnya, sehingga harus berjalan kaki ataupun
menghentikan aktivitas, menjadi berakumulasi, dengan kekhawatiran
naiknya harga BBM.
Pertamina sudah menyatakan stok untuk BBM Kota Balikpapan masih aman
terkendali. BPH Migas pun menyatakan hal yang sama. Lalu kenapa
kepanikan itu tetap ada? Apakah dikarenakan pengguna BBM semakin tak
percaya dengan Pertamina, BUMN yang dimandatkan untuk mengelola minyak
bumi dan gas alam di Indonesia? Lalu, mengapa pula pedagang BBM eceran
yang dipersalahkan?
Kenaikan Harga BBM, Kepentingan Siapa?
Pemerintah selalu menyatakan bahwa harga BBM di Indonesia masih
terlalu murah, sehingga harus menyedot subsidi yang luar biasa banyaknya
di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karenanya
Pemerintah menganggap penting untuk menurunkan subsidi tersebut, dan
lalu menaikan harga BBM. Asumsi yang digunakan pemerintah kali ini,
sepertinya benar. Namun, mari kita baca lebih dalam, apakah memang benar
dengan menurunkan subsidi BBM itu akan menyelesaikan persoalan BBM di
negeri ini?
Pertama, Indonesia hingga saat ini telah menyempurnakan liberalisasi
pengelolaan migasnya. UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
yang diintervensi oleh kepentingan asing, telah membuka ruang bagi
beroperasinya SPBU oleh swasta (asing). Akibat Pertamina masih mematok
harga yang lebih rendah dibandingkan SPBU milik Shell, Petronas, Total
dan lainnya, maka pengunjung SPBU swasta tersebut masih rendah. Ini
kemudian melahirkan permintaan baru kepada Pemerintah, agar Pertamina
bisa menaikkan harga BBM Premium dan Solarnya.
UU No 22/2001 ini juga memandatkan beberapa hal, diantaranya: (1)
Pembagian yang lebih tegas antara fungsi Pemerintah (Pembuat Kebijakan);
Pengatur (regulator); dan Pelaku Usaha; (2) Pemecahan rantai usaha ke
beberapa kegiatan usaha (unbundling); (3) Liberalisasi sektor hilir
migas; (4) Perubahan status PERTAMINA menjadi Persero, dan; (5)
Penentuan harga BBM sesuai dengan mekanisme pasar. UU No. 22/2001
merupakan salah satu prasyarat yang diajukan International Monetary Fund
(IMF) di dalam Letter of Intent (LoI) nya.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah mengeluarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi tanggal 21 Desember 2004 pada perkara Nomor 002/PUU-I/2003,
bahwa Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga
gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan
wajar, bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga bahan
bakar minyak dan gas tidak dapat diserahkan mekanisme pasar, tetapi
harus melalui kewenangan pemerintah.
Kedua, Unit pengolahan Migas di Indonesia oleh Pertamina tidak
sepenuhnya mampu untuk menutupi kebutuhan BBM oleh warganya. Produksi
premium dari kilang Pertamina hanya dapat memenuhi kebutuhan premium
sebesar 54% dan solar sebesar 86%. Hingga Pertamina harus mengimpor
premium dan solar. Per akhir 2011, masih diperlukan impor premium
sebesar 12 juta kilo liter dan solar sebesar 3 juta kilo liter per
tahun.
Ketiga, pemain hilir industri migas, sangat tidak percaya diri untuk
bersaing dengan Pertamina, selama Pemerintah masih mensubsidi
konsumennya. Akhirnya, permintaan langsung pernah datang dari Bank Dunia
yang menulis surat kepada Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral agar
para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-fasilitas produksi
dan distribusi milik Pertamina, serta menyatakan “pemberian subsidi harga BBM oleh pemerintah tidak bisa merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir.”
Disini terlihat jelas bagaimana kemudian negara kita coba ditekan untuk
mengikuti aturan global, dengan kemudian terus mengabaikan kepentingan
warganya.
Keempat, pemberian subsidi melalui Bantuan Langsung Tunai, sebenarnya
telah menguatkan posisi Pemerintah dalam mensubsidi industri migas
swasta (asing), agar mereka tetap melanjutkan akumulasi kekayaan mereka.
BBM adalah salah satu cabang produksi yang dibutuhkan rakyat banyak.
Dan karenanya pencabutan subsidi BBM merupakan ancaman bagi
produktifitas rakyat Indonesia. Total premium yang dikonsumsi oleh rumah
tangga, 64%-nya dikonsumsi oleh sepeda motor, sedangkan untuk mobil
hanya 36%. Data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata
dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah
(pengeluaran per kapita < USD 4), termasuk di dalamnya (29%)
dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per kapita < USD 2).
Artinya, subsidi selama ini telah tepat pada sasarannya, dan merupakan
mandat konstitusi.
Kelima, daya beli masyarakat Indonesia terhadap BBM masih rendah bila
dibandingkan dengan negara lain. Meskipun harga BBM lebih murah
dibandingkan negara-negara lain, akan tetapi harga tersebut relatif
mahal bila dibandingkan dengan pendapatan kotor per kapita yang masih
jauh dibanding negara-negara lain.
Kotak Pandora BBM
Skema kompensasi kenaikan harga BBM tidak akan membantu masyarakat
miskin dan menengah-bawah, sebab beban ekonomi akibat kenaikan harga
bahan pokok dan transportasi akan berdampak sangat buruk bagi
perekonomian rakyat. Membawa BBM pada skenario global, seperti membawa
warga negeri ini membuka kotak pandora. Kesengsaraan kian bertambah,
kemakmuran akan semakin jauh dari jangkauan.
Menjadi penting bagi pengguna BBM, termasuk di Kota Minyak untuk
mendesak Pemerintah melakukan renegosiasi kontrak-kontrak Migas yang
merugikan perekonomian Nasional, melakukan renegosiasi
penghapusan/pengurangan pembayaran utang luar negeri dengan pihak
kreditor bilateral dan multilateral. Selain juga penting untuk mendesak
Pemerintah dan DPR melakukan effisiensi pengeluaran cost recovery
dan melakukan efisiensi belanja negara untuk kebutuhan birokrasi dalam
APBN. Terakhir yang mendesak adalah Pemerintah dan DPR harus segera
melakukan revisi UU Migas dan UU Energi agar sesuai dengan mandat
Konstitusi.
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”
demikian mandat pasal 33 ayat (2) konstitusi negeri kita. Minyak bumi
dan gas alam merupakan cabang produksi yang penting bagi negara. Sudah
sangat mendesak agar Pemerintah dan DPR mengembalikan arah ketinting
negeri ini pada arah yang dimandatkan Konstitusi negara kita.
sumber: http://timpakul.web.id/krisis-minyak-di-kota-minyak.html
tugas: - www.gunadarma.ac.id - www.studentsite.gunadarma.ac.id - www.baak.gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar