Selasa, 25 Juni 2013

KRISIS MINYAK DIKOTA MINYAK

KRISIS MINYAK DIKOTA MINYAK

Antrian panjang nih di setiap SPBU” begitu bunyi timeline dari tweeps Kota Balikpapan. Antrian di Stasiun Pengisian Bahan Bakaru Umum (SPBU) sebenarnya biasa terjadi di berbagai kota di Kalimantan Timur, yang merupakan salah satu provinsi penghasil minyak bumi dan gas alam di Indonesia. Kondisi ini menjadi berbeda, ketika kejadian antrian di SPBU ada di Kota Balikpapan.
Kota Balikpapan yang berjulukan Kota Minyak itu, kelahirannya disepakati pada saat pengeboran pertama minyak di Balikpapan yang dilakukan oleh perusahaan Mathilda, tanggal 10 Februari 1897. Selama ini kota Balikpapan dikenal sebagai wadah pertemuan hasil minyak bumi yang disedot dari kerak bumi, terus dialirkan dan didistribusikan ke berbagai unit pengolahan lainnya. Balikpapan juga menjadi titik distribusi bahan bakar minyak, utamanya bagi wilayah Kalimantan.
Langkanya BBM
Balikpapan bisa jadi baru pertama kali merasakan krisis stok bahan bakar minyak (BBM), karena sebelumnya kebutuhan kota ini selalu terpenuhi. Di saat pemerintah mulai mewacanakan kenaikan harga BBM, maka mulailah terjadi penyimpanan minyak oleh berbagai kalangan, baik warga, maupun pedagang. Penimbunan terjadi, dan cadangan di SPBU semakin menipis.
Di era 2.0 ini, informasi sekecil apapun akan cepat mengalir. Kenaikan harga BBM, ditambah dengan menipisnya stok, menjadikan pengguna BBM menjadi panik. Tombol panik pun tertekan. Sebagian besar pengguna BBM bergegas untuk mencukupkan kebutuhannya akan bahan bakar. Kekhawatiran tidak memperolehnya, sehingga harus berjalan kaki ataupun menghentikan aktivitas, menjadi berakumulasi, dengan kekhawatiran naiknya harga BBM.
Pertamina sudah menyatakan stok untuk BBM Kota Balikpapan masih aman terkendali. BPH Migas pun menyatakan hal yang sama. Lalu kenapa kepanikan itu tetap ada? Apakah dikarenakan pengguna BBM semakin tak percaya dengan Pertamina, BUMN yang dimandatkan untuk mengelola minyak bumi dan gas alam di Indonesia? Lalu, mengapa pula pedagang BBM eceran yang dipersalahkan?
Kenaikan Harga BBM, Kepentingan Siapa?
Pemerintah selalu menyatakan bahwa harga BBM di Indonesia masih terlalu murah, sehingga harus menyedot subsidi yang luar biasa banyaknya di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karenanya Pemerintah menganggap penting untuk menurunkan subsidi tersebut, dan lalu menaikan harga BBM. Asumsi yang digunakan pemerintah kali ini, sepertinya benar. Namun, mari kita baca lebih dalam, apakah memang benar dengan menurunkan subsidi BBM itu akan menyelesaikan persoalan BBM di negeri ini?
Pertama, Indonesia hingga saat ini telah menyempurnakan liberalisasi pengelolaan migasnya. UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang diintervensi oleh kepentingan asing, telah membuka ruang bagi beroperasinya SPBU oleh swasta (asing). Akibat Pertamina masih mematok harga yang lebih rendah dibandingkan SPBU milik Shell, Petronas, Total dan lainnya, maka pengunjung SPBU swasta tersebut masih rendah. Ini kemudian melahirkan permintaan baru kepada Pemerintah, agar Pertamina bisa menaikkan harga BBM Premium dan Solarnya.
UU No 22/2001 ini juga memandatkan beberapa hal, diantaranya: (1) Pembagian yang lebih tegas antara fungsi Pemerintah (Pembuat Kebijakan); Pengatur (regulator); dan Pelaku Usaha; (2) Pemecahan rantai usaha ke beberapa kegiatan usaha (unbundling); (3) Liberalisasi sektor hilir migas; (4) Perubahan status PERTAMINA menjadi Persero, dan; (5) Penentuan harga BBM sesuai dengan mekanisme pasar. UU No. 22/2001 merupakan salah satu prasyarat yang diajukan International Monetary Fund (IMF) di dalam Letter of Intent (LoI) nya.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 21 Desember 2004 pada perkara Nomor 002/PUU-I/2003, bahwa Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga bahan bakar minyak dan gas tidak dapat diserahkan mekanisme pasar, tetapi harus melalui kewenangan pemerintah.
Kedua, Unit pengolahan Migas di Indonesia oleh Pertamina tidak sepenuhnya mampu untuk menutupi kebutuhan BBM oleh warganya. Produksi premium dari kilang Pertamina hanya dapat memenuhi kebutuhan premium sebesar 54% dan solar sebesar 86%. Hingga Pertamina harus mengimpor premium dan solar. Per akhir 2011, masih diperlukan impor premium sebesar 12 juta kilo liter dan solar sebesar 3 juta kilo liter per tahun.
Ketiga, pemain hilir industri migas, sangat tidak percaya diri untuk bersaing dengan Pertamina, selama Pemerintah masih mensubsidi konsumennya. Akhirnya, permintaan langsung pernah datang dari Bank Dunia yang menulis surat kepada Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral agar para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-fasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina, serta menyatakan “pemberian subsidi harga BBM oleh pemerintah tidak bisa merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir.” Disini terlihat jelas bagaimana kemudian negara kita coba ditekan untuk mengikuti aturan global, dengan kemudian terus mengabaikan kepentingan warganya.
Keempat, pemberian subsidi melalui Bantuan Langsung Tunai, sebenarnya telah menguatkan posisi Pemerintah dalam mensubsidi industri migas swasta (asing), agar mereka tetap melanjutkan akumulasi kekayaan mereka. BBM adalah salah satu cabang produksi yang dibutuhkan rakyat banyak. Dan karenanya pencabutan subsidi BBM merupakan ancaman bagi produktifitas rakyat Indonesia. Total premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64%-nya dikonsumsi oleh sepeda motor, sedangkan untuk mobil hanya 36%. Data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah (pengeluaran per kapita < USD 4), termasuk di dalamnya (29%) dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per kapita < USD 2). Artinya, subsidi selama ini telah tepat pada sasarannya, dan merupakan mandat konstitusi.
Kelima, daya beli masyarakat Indonesia terhadap BBM masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Meskipun harga BBM lebih murah dibandingkan negara-negara lain, akan tetapi harga tersebut relatif mahal bila dibandingkan dengan pendapatan kotor per kapita yang masih jauh dibanding negara-negara lain.
Kotak Pandora BBM
Skema kompensasi kenaikan harga BBM tidak akan membantu masyarakat miskin dan menengah-bawah, sebab beban ekonomi akibat kenaikan harga bahan pokok dan transportasi akan berdampak sangat buruk bagi perekonomian rakyat. Membawa BBM pada skenario global, seperti membawa warga negeri ini membuka kotak pandora. Kesengsaraan kian bertambah, kemakmuran akan semakin jauh dari jangkauan.
Menjadi penting bagi pengguna BBM, termasuk di Kota Minyak untuk mendesak Pemerintah melakukan renegosiasi kontrak-kontrak Migas yang merugikan perekonomian Nasional, melakukan renegosiasi penghapusan/pengurangan pembayaran utang luar negeri dengan pihak kreditor bilateral dan multilateral. Selain juga penting untuk mendesak Pemerintah dan DPR melakukan effisiensi pengeluaran cost recovery dan melakukan efisiensi belanja negara untuk kebutuhan birokrasi dalam APBN. Terakhir yang mendesak adalah Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi UU Migas dan UU Energi agar sesuai dengan mandat Konstitusi.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” demikian mandat pasal 33 ayat (2) konstitusi negeri kita. Minyak bumi dan gas alam merupakan cabang produksi yang penting bagi negara. Sudah sangat mendesak agar Pemerintah dan DPR mengembalikan arah ketinting negeri ini pada arah yang dimandatkan Konstitusi negara kita.

sumber: http://timpakul.web.id/krisis-minyak-di-kota-minyak.html 

tugas: - www.gunadarma.ac.id         - www.studentsite.gunadarma.ac.id         - www.baak.gunadarma.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar